Share
“Saya memilih anak perempuan..”, dengan mantap dan semangat gadis guru baru menyatakan pilihannya. “Mengapa Bi? Mereka adalah anak yang super. Banyak yang ingin menghindarinya”, begitu pertanyaan heran beberapa rekan Wibi. “Aku akan mencintainya, insyaAllah”, demikian jawaban Wibi. Terlintas isi hati yang membuatnya menjatuhkan pilihan. Menerawang ke beberapa seluk beluk hati Wibi sebelumnya.
"Wah, aku harus berpikir puluhan kali sebelum berbicara dengannya karena takut salah" "Aku bahkan belum pernah melihat dia tertawa seperti gadis-gadis yang lain" "Dia terlihat begitu dingin, seperti salju" "Ice princess". Kira-kira begitu bisikan orang-orang yang sekilas mengenalku ketika aku berjalan di koridor, pelantaran kampus Farmasi Unand. Mungkin akan terbayang bahwa aku adalah sosok yang ketika berjalan akan memberikan efek beku di dinding, di tanah, di jalan, atau pepohonan sekitar. Bisa jadi benar, tapi kemudian salah. Sosok dingin ini sebenarnya adalah sosok hangat yang kemudian dipanggil "Hug giver angel teacher."
Ice princess. Aku suka julukan itu. Jadilah seorang perempuan yang anggun. Dingin, namun menyejukkan sekaligus menghangatkan. Papa selalu berpesan itu. Seorang perempuan yang indah itu bila berbicara hanya bila perlu. Ada di saat penting. Spesial. Tidak ordinary.
Menatap anak-anak adalah hal yang aku sukai. Binar di mata mereka selalu sukses membuat ku terharu. Menghabiskan waktu bersama mereka membuat ku lupa sejenak akan masalah hidup ini. Tertawa bersama mereka membuat ku belajar, hidup tidak sesulit yang aku kira. Anak-anak bisa tertawa karena hal kecil. Mengapa aku begitu terpuruk pada rintangan keseharianku.
Anak-anak meminta belajar di rumahku. Mereka suka. Bahkan saat aku sibuk dan tidak bisa menemani mereka belajar, mereka tetap ingin datang ke rumah. Mereka bilang, bermain di halaman saja juga tidak apa-apa asal ada di dekat ku. Di pagi hari subuh pun mau ke rumah juga belajar. Seutas pertanyaan terlontar dari mulut ku. Mengapa mereka mau. Jawabannya karena di rumah tidak ada teman. Mama? Mama tidak akan mau bermain.
Perlahan ku perhatikan anak-anak yang datang ke rumah. Diajak bermain adalah hal yang sangat mereka sukai, seolah mendapat kejutan besar. Binar mata mereka membesar. Anak-anak ingin bermain. Bermain bersama seseorang. Bukan teman. Akan tetapi, sosok lebih besar yang mampu memberinya perhatian. Anak-anak puas. Kebahagiaan hatinya akan membuat perilakunya melunak. Dia mau menurut.
Ada banyak sekali lontaran, kicauan, cerita yang diluahkan. Anak-anak sangat suka bercerita. Hal-hal kecil yang menurut ku saat itu sangatlah tidak penting, tetapi begitu membuatnya antusias. Oh, tolong, melompati laba-laba di kamar mandi begitu wow kah? Iya. Mereka merasa hebat. Tidak digigit laba-laba. Mereka sudah pahlawan untuk diri sendiri. Bermimpi sudah bisa menyelamatkan dunia.
Memeluk. Seperti yang selalu papa lakukan apa pun kondisi ku. Sangat aku sedih, bahagia, ingin dipresiasi, ingin dimaafkan, atau bahkan saat beliau yang ingin dimaafkan. Namun, sekarang aku memeluk karena itu yang bisa aku lakukan. Aku tidak terbiasa mengucapkan kata manis, tetapi aku mau mereka tau bahwa aku mendengarkan semua cerita membosankan mereka. Ada debaran jantung yang ku dengar.
Mereka menjauh, melepas pelukan dengan hati puas dan kembali berlari bermain. Aku berpikir, mereka senang dan mereka lega. Aku pun tersenyum. Tidak. Cerita mereka tadi tidak membosankan. Itu adalah langkah awal kehidupan mereka. Apa jadinya bila aku patahkan, bila aku tidak mau mendengar, lalu mereka sedih. Bisakah loncatan laba-laba itu berubah menjadi loncatan gedung dengan pesawat canggih? Aku bergidik. Jangan. Jangan sampai ada yang menghapus senyuman dan semangat anak-anak. Dengarkan semuanya. Itu berharga. Percayalah. Itu berharga.
Mulut mereka membulat. Mata mereka menatap suatu titik. Sedikit kerutan di kening membuat mereka terlihat menggemaskan saat berusaha memecahkan soal matematika yang aku berikan. Aku menghela nafas. Sudah lama aku menunggu. Mereka pun menatapku. Binar di mata mereka seolah berkata dan memelas kepadaku agar jangan marah karena mereka masih tidak mengerti cara menyelesaikan soal yang aku berikan.
Penjelasan ku yang berulang-ulang masih belum memberikan hasil. Emosi ku naik. Aku mau semuanya mengerti. Semuanya paham. Semuanya bisa. Suara ku sedikit naik. “Mengapa masih tidak bisa?”
Kerasnya suara ku membuat mereka menunduk. Mata mereka berkaca-kaca hendak menangis. Apa yang sudah aku lakukan? Mereka juga maunya mengerti dan paham. Hanya mereka belum mampu. Aku seharusnya sabar. Mungkin mereka lapar? Atau mungkin mereka takut tidak mengerti. Kebanyakan mereka takut tidak mengerti. Segera aku peluk mereka sambil berkata, “Tidak apa-apa, kamu insyaAllah bisa. Tidak perlu takut. Mudah, kok. Ayo kita pelajari lagi” Mereka mengangguk dan memberikan semburat senyuman. Bisa. Akhirnya mereka bisa.
Anak-anak ingin ditemani bermain. Anak-anak ingin didengarkan. Anak-anak ingin ditenangkan. Ada banyak hal yang mereka takutkan dan cemaskan. Bila bukan kita yang memberikan semua yang mereka butuhkan, lalu siapa? Mereka bisa menghilang seolah tidak ada di bumi ini. Jasadnya ada, tapi hanya berkelana tidak tentu tujuan. Diemban siapa dunia ini berikutnya bila pemegangnya sudah kita abaikan?
Aku harus menemani anak-anak. Mungkin tidak semuanya. Akan tetapi, aku harus lakukan apa pun yang aku bisa. Menebar cinta. Memberi semangat pada penerus kecil yang butuh didampingi. Itulah alasanku memilih beralih profesi menjadi seorang guru.
Aku akan marah bila aku sedih. Aku akan berontak bila aku kecewa. Namun, semua diredam papa dan mama melalui sebuah pelukan. Mungkinkah anak-anak bersikap nakal karena mereka kesepian? Pertanyaan itu muncul di benak ku saat aku di-training di sekolah yang aku masukkan lamaran pekerjaan; SD IT An-Nahl.
Aku ditempatkan pertama sekali di kelas yang dijuluki kelas super. Ada anak yang kelakukannya kalau aku bilang memang super. Tidak mau duduk diam. Berlarian ke luar masuk kelas sesuka hati. Aku sempat pusing karena tingkah anak-anak di kelas itu yang rata-rata sikapnya sama. Aku kejar anak laki-laki yang paling liar lalu aku rangkul pundaknya karena masih kelas 1 dan aku bilang, “Anak ganteng ini tidak capek lari-lari?” Sontak dia menunduk malu. Aku merasa berhasil setelah memujinya. “Power Ranger ibu, ayo masuk ke kelas agar semakin pintar. Kan, sudah pintar, jadi ayo makin pintar.” Pujian membuatnya luluh dan lengket kepada ku. Kemana aku pergi selalu diikuti. Anak laki-laki juga butuh pujian ternyata.
Berada di kelas 5 juga aku rasakan. Sosok murid laki-laki aku temui menatap ku. Aku tersenyum padanya. Dia menunduk malu. Cukup lama dan beberapa hari berbincang dengannya, aku tahu dia suka menyanyi. Aku bilang aku ingin mendengarnya bernyanyi. Dia berusaha menolak karena alasan malu. Aku meyakinkannya kalau dia bisa bernyanyi dengan bagus dan aku berjanji akan mendengarkannya bernyanyi.
Dia akhirnya menepati janjinya. Dia bernyanyi di teras sekolah dengan percaya diri. Ada banyak orang yang melihat heran. Namun, ku lihat dia tidak peduli. Dia hanya mau menunjukkan kalau dia bisa. Aku mendengarkan nyanyiannya sambil tersenyum. Berdoa semoga Allah memberikan semua yang terbaik padanya.
Kemudian aku mendapat kabar, ternyata dia pernah mempunyai catatan kenakalan. Aku berasumsi mungkin karena latar belakang kehidupannya yang aku dengar dia ditinggalkan sang ibu dan hidup bersama neneknya. Sang ibu sering terlihat di depan mata, dan pernah juga berkunjung ke rumah ibu. Akan tetapi, sang ibu tidak menganggapnya sebagai anak. Diacuhkan, dianggap tidak ada.
Namun, bila aku tidak mendengar cerita tentangnya, aku tidak akan mengira. Aku hanya melihat semburat lunak dari matanya. Setelah nyanyian itu dia sering menyapa ku. Terkadang dia cuma menatap, tidak menyapa. Aku tahu, dia menunggu untuk disapa. Sapaan panggilan nama dengan isyarat sinyal dan selipan doa bahwa aku selalu mengingatnya dan yakin dia hebat ku berikan. Senyuman malu ke luar dari bibirnya.
Di waktu terakhir di sekolah, dia mengukir prestasi menjadi juara 1 pidato. Aku sedikit tidak percaya karena aku mendengar cerita dari penutur, dia bahkan sudah dipatahkan bahwa dia tidak akan juara. Akan tetapi, dia bersikeras akan berjuang keras dan latihan semalaman. Alhamdulillaah, Allah itu memang Super.
Ada haru di dalam diri ku. Tidak ada hubungannya dengan ku mungkin, tapi aku sangat senang. Boleh meneteskan bulir air mata ini? Terima kasih pada Allah. Bila sudah Allah yang jaga, siapa yang bisa mengganggu. Semoga semua anak dalam penjagaan Allah. Allahumma Aamiin.
Sebentar.. ini artinya Wibi pernah menjalani hari bersama murid laki-laki, kan? Apa yang akan Wibi lakukan bersama murid barunya? Yang jelas, mencintai dengan tulus, ya? Entah apa ceritanya. Semoga Allah selalu mempermudah dan menyukseskan semua. Aamiin Aamiin Aamiin ya Allah.
Ketika Guru tidak hanya profesi, tapi juga menjadi pemberi pelukan..
“Pelukan pagi itu selalu sangat diperlukan Miss”
Share
“Saya memilih anak perempuan..”, dengan mantap dan semangat gadis guru baru menyatakan pilihannya. “Mengapa Bi? Mereka adalah anak yang super. Banyak yang ingin menghindarinya”, begitu pertanyaan heran beberapa rekan Wibi. “Aku akan mencintainya, insyaAllah”, demikian jawaban Wibi. Terlintas isi hati yang membuatnya menjatuhkan pilihan. Menerawang ke beberapa seluk beluk hati Wibi sebelumnya. "Wah, aku harus berpikir puluhan kali sebelum berbicara dengannya karena takut salah" "Aku bahkan belum pernah melihat dia tertawa seperti gadis-gadis yang lain" "Dia terlihat begitu dingin, seperti salju" "Ice princess". Kira-kira begitu bisikan orang-orang yang sekilas mengenalku ketika aku berjalan di koridor, pelantaran kampus Farmasi Unand. Mungkin akan terbayang bahwa aku adalah sosok yang ketika berjalan akan memberikan efek beku di dinding, di tanah, di jalan, atau pepohonan sekitar. Bisa jadi benar, tapi kemudian salah. Sosok dingin ini sebenarnya adalah sosok hangat yang kemudian dipanggil "Hug giver angel teacher." Ice princess. Aku suka julukan itu. Jadilah seorang perempuan yang anggun. Dingin, namun menyejukkan sekaligus menghangatkan. Papa selalu berpesan itu. Seorang perempuan yang indah itu bila berbicara hanya bila perlu. Ada di saat penting. Spesial. Tidak ordinary. Menatap anak-anak adalah hal yang aku sukai. Binar di mata mereka selalu sukses membuat ku terharu. Menghabiskan waktu bersama mereka membuat ku lupa sejenak akan masalah hidup ini. Tertawa bersama mereka membuat ku belajar, hidup tidak sesulit yang aku kira. Anak-anak bisa tertawa karena hal kecil. Mengapa aku begitu terpuruk pada rintangan keseharianku. Anak-anak meminta belajar di rumahku. Mereka suka. Bahkan saat aku sibuk dan tidak bisa menemani mereka belajar, mereka tetap ingin datang ke rumah. Mereka bilang, bermain di halaman saja juga tidak apa-apa asal ada di dekat ku. Di pagi hari subuh pun mau ke rumah juga belajar. Seutas pertanyaan terlontar dari mulut ku. Mengapa mereka mau. Jawabannya karena di rumah tidak ada teman. Mama? Mama tidak akan mau bermain. Perlahan ku perhatikan anak-anak yang datang ke rumah. Diajak bermain adalah hal yang sangat mereka sukai, seolah mendapat kejutan besar. Binar mata mereka membesar. Anak-anak ingin bermain. Bermain bersama seseorang. Bukan teman. Akan tetapi, sosok lebih besar yang mampu memberinya perhatian. Anak-anak puas. Kebahagiaan hatinya akan membuat perilakunya melunak. Dia mau menurut. Ada banyak sekali lontaran, kicauan, cerita yang diluahkan. Anak-anak sangat suka bercerita. Hal-hal kecil yang menurut ku saat itu sangatlah tidak penting, tetapi begitu membuatnya antusias. Oh, tolong, melompati laba-laba di kamar mandi begitu wow kah? Iya. Mereka merasa hebat. Tidak digigit laba-laba. Mereka sudah pahlawan untuk diri sendiri. Bermimpi sudah bisa menyelamatkan dunia. Memeluk. Seperti yang selalu papa lakukan apa pun kondisi ku. Sangat aku sedih, bahagia, ingin dipresiasi, ingin dimaafkan, atau bahkan saat beliau yang ingin dimaafkan. Namun, sekarang aku memeluk karena itu yang bisa aku lakukan. Aku tidak terbiasa mengucapkan kata manis, tetapi aku mau mereka tau bahwa aku mendengarkan semua cerita membosankan mereka. Ada debaran jantung yang ku dengar. Mereka menjauh, melepas pelukan dengan hati puas dan kembali berlari bermain. Aku berpikir, mereka senang dan mereka lega. Aku pun tersenyum. Tidak. Cerita mereka tadi tidak membosankan. Itu adalah langkah awal kehidupan mereka. Apa jadinya bila aku patahkan, bila aku tidak mau mendengar, lalu mereka sedih. Bisakah loncatan laba-laba itu berubah menjadi loncatan gedung dengan pesawat canggih? Aku bergidik. Jangan. Jangan sampai ada yang menghapus senyuman dan semangat anak-anak. Dengarkan semuanya. Itu berharga. Percayalah. Itu berharga. Mulut mereka membulat. Mata mereka menatap suatu titik. Sedikit kerutan di kening membuat mereka terlihat menggemaskan saat berusaha memecahkan soal matematika yang aku berikan. Aku menghela nafas. Sudah lama aku menunggu. Mereka pun menatapku. Binar di mata mereka seolah berkata dan memelas kepadaku agar jangan marah karena mereka masih tidak mengerti cara menyelesaikan soal yang aku berikan. Penjelasan ku yang berulang-ulang masih belum memberikan hasil. Emosi ku naik. Aku mau semuanya mengerti. Semuanya paham. Semuanya bisa. Suara ku sedikit naik. “Mengapa masih tidak bisa?” Kerasnya suara ku membuat mereka menunduk. Mata mereka berkaca-kaca hendak menangis. Apa yang sudah aku lakukan? Mereka juga maunya mengerti dan paham. Hanya mereka belum mampu. Aku seharusnya sabar. Mungkin mereka lapar? Atau mungkin mereka takut tidak mengerti. Kebanyakan mereka takut tidak mengerti. Segera aku peluk mereka sambil berkata, “Tidak apa-apa, kamu insyaAllah bisa. Tidak perlu takut. Mudah, kok. Ayo kita pelajari lagi” Mereka mengangguk dan memberikan semburat senyuman. Bisa. Akhirnya mereka bisa. Anak-anak ingin ditemani bermain. Anak-anak ingin didengarkan. Anak-anak ingin ditenangkan. Ada banyak hal yang mereka takutkan dan cemaskan. Bila bukan kita yang memberikan semua yang mereka butuhkan, lalu siapa? Mereka bisa menghilang seolah tidak ada di bumi ini. Jasadnya ada, tapi hanya berkelana tidak tentu tujuan. Diemban siapa dunia ini berikutnya bila pemegangnya sudah kita abaikan? Aku harus menemani anak-anak. Mungkin tidak semuanya. Akan tetapi, aku harus lakukan apa pun yang aku bisa. Menebar cinta. Memberi semangat pada penerus kecil yang butuh didampingi. Itulah alasanku memilih beralih profesi menjadi seorang guru. Aku akan marah bila aku sedih. Aku akan berontak bila aku kecewa. Namun, semua diredam papa dan mama melalui sebuah pelukan. Mungkinkah anak-anak bersikap nakal karena mereka kesepian? Pertanyaan itu muncul di benak ku saat aku di-training di sekolah yang aku masukkan lamaran pekerjaan; SD IT An-Nahl. Aku ditempatkan pertama sekali di kelas yang dijuluki kelas super. Ada anak yang kelakukannya kalau aku bilang memang super. Tidak mau duduk diam. Berlarian ke luar masuk kelas sesuka hati. Aku sempat pusing karena tingkah anak-anak di kelas itu yang rata-rata sikapnya sama. Aku kejar anak laki-laki yang paling liar lalu aku rangkul pundaknya karena masih kelas 1 dan aku bilang, “Anak ganteng ini tidak capek lari-lari?” Sontak dia menunduk malu. Aku merasa berhasil setelah memujinya. “Power Ranger ibu, ayo masuk ke kelas agar semakin pintar. Kan, sudah pintar, jadi ayo makin pintar.” Pujian membuatnya luluh dan lengket kepada ku. Kemana aku pergi selalu diikuti. Anak laki-laki juga butuh pujian ternyata. Berada di kelas 5 juga aku rasakan. Sosok murid laki-laki aku temui menatap ku. Aku tersenyum padanya. Dia menunduk malu. Cukup lama dan beberapa hari berbincang dengannya, aku tahu dia suka menyanyi. Aku bilang aku ingin mendengarnya bernyanyi. Dia berusaha menolak karena alasan malu. Aku meyakinkannya kalau dia bisa bernyanyi dengan bagus dan aku berjanji akan mendengarkannya bernyanyi. Dia akhirnya menepati janjinya. Dia bernyanyi di teras sekolah dengan percaya diri. Ada banyak orang yang melihat heran. Namun, ku lihat dia tidak peduli. Dia hanya mau menunjukkan kalau dia bisa. Aku mendengarkan nyanyiannya sambil tersenyum. Berdoa semoga Allah memberikan semua yang terbaik padanya. Kemudian aku mendapat kabar, ternyata dia pernah mempunyai catatan kenakalan. Aku berasumsi mungkin karena latar belakang kehidupannya yang aku dengar dia ditinggalkan sang ibu dan hidup bersama neneknya. Sang ibu sering terlihat di depan mata, dan pernah juga berkunjung ke rumah ibu. Akan tetapi, sang ibu tidak menganggapnya sebagai anak. Diacuhkan, dianggap tidak ada. Namun, bila aku tidak mendengar cerita tentangnya, aku tidak akan mengira. Aku hanya melihat semburat lunak dari matanya. Setelah nyanyian itu dia sering menyapa ku. Terkadang dia cuma menatap, tidak menyapa. Aku tahu, dia menunggu untuk disapa. Sapaan panggilan nama dengan isyarat sinyal dan selipan doa bahwa aku selalu mengingatnya dan yakin dia hebat ku berikan. Senyuman malu ke luar dari bibirnya. Di waktu terakhir di sekolah, dia mengukir prestasi menjadi juara 1 pidato. Aku sedikit tidak percaya karena aku mendengar cerita dari penutur, dia bahkan sudah dipatahkan bahwa dia tidak akan juara. Akan tetapi, dia bersikeras akan berjuang keras dan latihan semalaman. Alhamdulillaah, Allah itu memang Super. Ada haru di dalam diri ku. Tidak ada hubungannya dengan ku mungkin, tapi aku sangat senang. Boleh meneteskan bulir air mata ini? Terima kasih pada Allah. Bila sudah Allah yang jaga, siapa yang bisa mengganggu. Semoga semua anak dalam penjagaan Allah. Allahumma Aamiin. Sebentar.. ini artinya Wibi pernah menjalani hari bersama murid laki-laki, kan? Apa yang akan Wibi lakukan bersama murid barunya? Yang jelas, mencintai dengan tulus, ya? Entah apa ceritanya. Semoga Allah selalu mempermudah dan menyukseskan semua. Aamiin Aamiin Aamiin ya Allah. Ketika Guru tidak hanya profesi, tapi juga menjadi pemberi pelukan.. “Pelukan pagi itu selalu sangat diperlukan Miss”