Share
oleh DINA RAHMI
Di kelilingi gugusan bebukitan yang menghijau ditumbuhi semak-semak perdu dan pepohonan menambahkan suasana sejuk kampungku. Kampung-kampung yang berada dikawasan ini memiliki logat dan corak bahasa yang unik, ketika kecil dulu jadi bahan olok-olokan jika kami bermain bersama dikaki salah satu bukit yang mengelilingi kampung kami. Bukit Batu Bolah nama yang disematkan penduduk pada bukit yang tidak terlalu tinggi ini. Batu Bolah (batu yang terbelah) sesuai dengan namanya memang terbelah, bukitnya tercipta dari batu hitam, kami mendaki bukit ini melalui bagian yang terbelah dengan memanfaatjan akar beringin yang tumbuh dibelahan bukit ini. Belahannya yang sempit memudahkan kita untuk merayapinya. Mendaki dengan tangan kosong, tanpa alat-alat safety, begitulah dulu “merdekanya” dunia anak-anak. Bukit yang membatasi jorong Kuranji nama kampungku dengan jorong Tiakar kampung sebelah. Bukit Batu Bolah jadi saksi keakraban anak-anak waktu itu. Bukit yang mengajarkan kami survive di alam. Memanfaatkan apa yang ada untuk bermain, belajar banyak hal dengan gembira.
Kampungku nan permai, tanpa listrik mengalir aku dan semua penduduk tetap bisa mengaji dan sholat lima waktu di mushalla. Seruan azan dikumandangkan dengan mikro bertenaga accu. Mamaku seorang yang tekun sholat lima waktu di masjid. Beliau seorang wanita kuat hati dan fisiknya yang pernah kukenal. Bangun jauh sebelum subuh untuk menyiapkan beraneka jualan di warung kopi kami. Saat azan subuh berkumandang kami dibangunkan untuk bersama-sama sholat ke Mushalla. Mama benar-benar gambaran wanita pejuang kebahagiaan keluarga. Dengan penghasilan papa sebagai seorang pegawai negri beliau tak berpangku tangan saja.
Aku anak ketiga yang proses kelahiran yang unik. Saat itu mama telah merasakan tanda-tanda akan melahirkan, tapi papa juga tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, jadilah mama memeriksakan kandungannya ke ibukota kabupaten dengan mengendarai sepeda sejauh kurang lebih 15 km. Bayangkan hamil tua mengendarai sepeda sejauh itu, benar-benar wanita tangguh. Sebelum ke rumah sakit mama istirahat dulu di rumah sahabtanya semasa sekolah. Melepas sedikit rasa lelah setelah mengayuh sepeda yang sudah tua (mama semoga masuk sorga tanpa hisab). Setelah sedikit rasa lelah terobati mama dengan diantar sahabatnya pergi ke rumah sakit. Setelah mendaftar dan menyelesaikan urusan admistrasi beliau langsung dipanggil untuk di periksa. Hasil pemeriksaan bidan menyatakan jalan lahir sudah terbuka. Mama disuruh langsung tinggal disana. Zaman dimana telpon di ibukota kabupatenpun belum ada, apalagi handphone. Jadilah sahabat mama yang mencari papa ke tempat kerjanya. Sampai sore hari belum ada tanda-tanda aku bakal keluar dari rahim mama, padahal jalan lahir telah terbuka sempurna, air ketubanpun telah mengalir. Entah apa sebabnya aku tetap betah berada dalam hangatnya rahim mama. Setelah magrib dokter dan bidan angkat tangan, aku harus dikeluarkan dengan cara lain. Di kotaku belum ada fasilitas untuk proses secsio. Mama harus di rujuk ke rumah sakit di Bukittinggi. Setelah papa menanda tangani semua syarat-syaratnya berangkatlah rombongan menuju Bukittinggi dengan ambulance.
Sirine ambulance meraung-raung memecahkan kesunyian jalanan malam itu. Semua membisu. Berbagai pikiran berkecamuk, proses kelahiran yang belum biasa waktu itu membuat orang-orang yang berada di dalam ambulance sedikit kalut. Papa yang ditemani juga oleh sahabatnya tak berbicara apapun. Ayunan di atas mobil mungkin membuatku mabuk dan menggeliat-geliat, mama mengerang kesakitan dan menyampaikan ke bidan yang mendampingi kalau aku sudah meronta-ronta hendak keluar. Bidan panik karena tak punya persiapan alat-alat untuk menyambut kelahiranku dan penerangan seadanya saja. Papa bingung, walau ini sudah pengalaman ketiga mendampingi mama melahirkan beliau tidak siap dengan kondisi yang ada. Untung ada sahabat papa yang meminta sopir ambulance berhenti dan beliau turun memberhentikan mobil lain yang melintas jalan. Subhannallah mobil yang beliau berhentikan ternyata mobil patroli polisi, dengan diterangi sorot lampu dari mobil polisi, panduan bidan tepat jam 9 malam pada 19 Januari 1979 akhirnya aku berhasil menhgirup untuk pertama kalinya oksigen di dunia. Dibaluti jaket sahabat papa untuk membuatku tetap hangat di udara terbuka malam itu akhirnya ambulance balik kanan menyusuri jalan kembali ke kota kami Payakumbuh tercinta.
Mama dan papa menghadiahiku nama Dina Rahmi dengan harapan aku jadi orang yang taat beragama dan penuh kasih sayang. Aku tumbuh jadi anak yang baik hati (ciee), senang membantu dan meringankan beban orang lain. Bagaimana tidak saat kelas satu SD aku sudah membawa jualan tanteku (adik mama) ke sekolah untuk ku jual. Tanteku baru tamat kuliah di jurusan tata boga waktu itu. Sambil menunggu panggilan mengajar beliau membuat aneka kue dan aku jadi kepala pemasarannya. Tubuh mungilku waktu itu mengangkut kue jualan dan tas yang berat berangkat ke sekolah dengan jalan kaki sejauh satu setengah kilometer. Aku senang-senang saja karena bakal dapat bagi hasil dari jualan. Waktu itu aku dan teman-teman dapat uang jajan hanaya dua kali seminggu. Jualanku laris manis, teman-temanku suka dengan kue buatan tante. Mereka berebut, sampai-sampai jam pelajaran berlangsungpun kueku dibeli teman-teman. Tentu saja itu semua kami lakukan diam-diam. ( Hehe itu kelas satu SD lho. Salam maaf dan takzim untuk bu guruku waktu itu. Alfatihah buat beliau. Semoga tenang di alam kuburnya.) Ibu-ibu yang jualan di kantin sampai cemburu denganku, karena jualan mereka jadi tidak terjual seperti biasanya dan melaporkan ke pihak sekolah agar juga meminta beo kepadaku. Masa kecil yang penuh warna membuatku tumbuh jadi pribadi yang tak menyerah dengan keadaan. Mewarisi sifat mama tapi dengan versi yang melo.
Di bangku kuliahpun aku tetap melakoni jualan seperti itu, membuat kue dan menitipkannya di sekretariat Annisa. Lingkungan tempat aku tumbuh dan berkembang membentukku jadi gadis yang tidak berpangku tangan dengan keadaan. Setelah menamatkan kuliah di Fakultas Pertaanian Universitas Andalas Padang aku diminta orang tua merintis peternakan ayam petelur. Usaha yang dirintis dengan dana seadanya tapi harapan menggunung tinggi. Adik yang sedang belajar di salah satu PTN di kota Padang dan yang lainnya baru tamat SMA menuntunku untuk menekuni bisnis ini. Usaha yang tidak mudah karena pakannya harus dicari keliling kampung. Aku di temani papa menyusurikampung dan mendatangi ricemilling nya untuk mendapatkan dedak dan jagung. Kegiatanku ini memahirkan aku menyetri mobil dengan muatan jagung, dedak yang beratnya sampai lima ton. Setelah semua bahan pakan terkumpul saatnya untuk mencampurnya menjadi satu, semua dikerjakan dengan manual, karena kita belum punya biaya untuk membeli mesin pencampurnya.
Semua pekerjaan itu terbayar lunas ketika masuk ke dalam kandang menemukan telur perdana nongol sebagai bakti ayam padaku ^_^. Hehe. Pekerjaan ini ku lakoni dengan senang hati, banyak pelajaran kehidupan yang kudapati saat itu. Setiap hari aku mengendarai sepeda sejauh dua kilometer ke tempat peternakan kami, guna menghemat pengeluaran aku tidak menggunakan mobil untuk kekandang pagi dan sorenya. Tapi enam bulan ada rasa jenuh dengan pekerjaan yang itu keitu saja, aku yang di kampus aktif di kegiatan kemahasiswaan merindukan kegiatan yang bervariasi.
Berbekal informasi teman aku mendaftar kursus Bahasa Arab di kota Payakumbuh, belajar tiga kali seminggu dengan biaya yang cukuplah untuk kantongku waktu itu. Kegiatan ini menjadikan aku kembali bersemangat dengan pekerjaanku. Walau pelajarannya tidak aku mengerti dengan baik karena belum pernah sekalipun belajar Bahasa Arab. Mulai dari jenjang pendidikan terendah sampai pergutuan tinggi aku di sekolah umum. Alhamdulillah ada nuansa lain yang aku dapatkan sehingga selalu semangat untuk terus bekerja dan berkontribusi bagi keluarga. Ada tawaran dan penggilan menggelitik untuk melamar jadi sarjana kontrak waktu itu, membimbing proyek-proyek pemerintah untuk pelayanan masyarakat, tapi papa tak merestui. Teruslah bergerak disini dan suatu hari kamu akan mendapatkan kebahagiaan lain katanya.
Beberapa bulan kursus, datang lamaran dari seseorang yang belum ku kenal sama sekali untuk diajak menikah. Kebetulan beliau mengajar di tempat kursusku, tapi kami tak pernah saling kenal dan bertemu. Entah kenapa setelah beberapa kali istikhoroh aku mengatakan ia ke papa. Papa dan mama juga setuju saja. Padahal kita semua belum saling kenal, dan aku sebelumnya juga belum ingin menikah, aku ingin punya banyak penghasilan dulu dan menghantarkan papa mama menunaikan ibadah haji. Sebulan setelah lamaran kamipun menikah. Setelah menikah kegiatan di peternakan sudah didelegasikan ke karyawan dan kepala peternakan dipegang langsung oleh mama.
Setelah punya anak, kami membangun tempat belajar untuk anak-anak sekitar dengan mendirikan lembaga belajar. Alhamdulillah setelah beberapa tahun lembaga berkembang dan bertumbuh luar biasa. Sekarang kita sudah punya lembaga pendidikan mulai dari playgroup sampai sekolah Menengah. Semua berjalan mengalir saja. Sekarang aku dan suami menemani anak-anak angkatan perdana SMP di asrama. Kami ingin hidup bersama generasi milenial yang tetap fokus menghafal alquran dan belajar banyak hal lainnya. Hidup yang serasa sempurna dengan lingkungan yang mendukung untuk selalu berkontribusi positif untuk lingkungan. Menebar manfaat sebanyak-banyaknya. Dan semoga almarhum papa yang berpulang akhir bulan Juli tahun ini mendapatkan kebahagian dengan amalan-amalan yang dilakukan anak-anaknya. Alfatihah untuk papa tercinta.
Share
oleh DINA RAHMI Di kelilingi gugusan bebukitan yang menghijau ditumbuhi semak-semak perdu dan pepohonan menambahkan suasana sejuk kampungku. Kampung-kampung yang berada dikawasan ini memiliki logat dan corak bahasa yang unik, ketika kecil dulu jadi bahan olok-olokan jika kami bermain bersama dikaki salah satu bukit yang mengelilingi kampung kami. Bukit Batu Bolah nama yang disematkan penduduk pada bukit yang tidak terlalu tinggi ini. Batu Bolah (batu yang terbelah) sesuai dengan namanya memang terbelah, bukitnya tercipta dari batu hitam, kami mendaki bukit ini melalui bagian yang terbelah dengan memanfaatjan akar beringin yang tumbuh dibelahan bukit ini. Belahannya yang sempit memudahkan kita untuk merayapinya. Mendaki dengan tangan kosong, tanpa alat-alat safety, begitulah dulu “merdekanya” dunia anak-anak. Bukit yang membatasi jorong Kuranji nama kampungku dengan jorong Tiakar kampung sebelah. Bukit Batu Bolah jadi saksi keakraban anak-anak waktu itu. Bukit yang mengajarkan kami survive di alam. Memanfaatkan apa yang ada untuk bermain, belajar banyak hal dengan gembira. Kampungku nan permai, tanpa listrik mengalir aku dan semua penduduk tetap bisa mengaji dan sholat lima waktu di mushalla. Seruan azan dikumandangkan dengan mikro bertenaga accu. Mamaku seorang yang tekun sholat lima waktu di masjid. Beliau seorang wanita kuat hati dan fisiknya yang pernah kukenal. Bangun jauh sebelum subuh untuk menyiapkan beraneka jualan di warung kopi kami. Saat azan subuh berkumandang kami dibangunkan untuk bersama-sama sholat ke Mushalla. Mama benar-benar gambaran wanita pejuang kebahagiaan keluarga. Dengan penghasilan papa sebagai seorang pegawai negri beliau tak berpangku tangan saja. Aku anak ketiga yang proses kelahiran yang unik. Saat itu mama telah merasakan tanda-tanda akan melahirkan, tapi papa juga tidak bisa meninggalkan pekerjaannya, jadilah mama memeriksakan kandungannya ke ibukota kabupaten dengan mengendarai sepeda sejauh kurang lebih 15 km. Bayangkan hamil tua mengendarai sepeda sejauh itu, benar-benar wanita tangguh. Sebelum ke rumah sakit mama istirahat dulu di rumah sahabtanya semasa sekolah. Melepas sedikit rasa lelah setelah mengayuh sepeda yang sudah tua (mama semoga masuk sorga tanpa hisab). Setelah sedikit rasa lelah terobati mama dengan diantar sahabatnya pergi ke rumah sakit. Setelah mendaftar dan menyelesaikan urusan admistrasi beliau langsung dipanggil untuk di periksa. Hasil pemeriksaan bidan menyatakan jalan lahir sudah terbuka. Mama disuruh langsung tinggal disana. Zaman dimana telpon di ibukota kabupatenpun belum ada, apalagi handphone. Jadilah sahabat mama yang mencari papa ke tempat kerjanya. Sampai sore hari belum ada tanda-tanda aku bakal keluar dari rahim mama, padahal jalan lahir telah terbuka sempurna, air ketubanpun telah mengalir. Entah apa sebabnya aku tetap betah berada dalam hangatnya rahim mama. Setelah magrib dokter dan bidan angkat tangan, aku harus dikeluarkan dengan cara lain. Di kotaku belum ada fasilitas untuk proses secsio. Mama harus di rujuk ke rumah sakit di Bukittinggi. Setelah papa menanda tangani semua syarat-syaratnya berangkatlah rombongan menuju Bukittinggi dengan ambulance. Sirine ambulance meraung-raung memecahkan kesunyian jalanan malam itu. Semua membisu. Berbagai pikiran berkecamuk, proses kelahiran yang belum biasa waktu itu membuat orang-orang yang berada di dalam ambulance sedikit kalut. Papa yang ditemani juga oleh sahabatnya tak berbicara apapun. Ayunan di atas mobil mungkin membuatku mabuk dan menggeliat-geliat, mama mengerang kesakitan dan menyampaikan ke bidan yang mendampingi kalau aku sudah meronta-ronta hendak keluar. Bidan panik karena tak punya persiapan alat-alat untuk menyambut kelahiranku dan penerangan seadanya saja. Papa bingung, walau ini sudah pengalaman ketiga mendampingi mama melahirkan beliau tidak siap dengan kondisi yang ada. Untung ada sahabat papa yang meminta sopir ambulance berhenti dan beliau turun memberhentikan mobil lain yang melintas jalan. Subhannallah mobil yang beliau berhentikan ternyata mobil patroli polisi, dengan diterangi sorot lampu dari mobil polisi, panduan bidan tepat jam 9 malam pada 19 Januari 1979 akhirnya aku berhasil menhgirup untuk pertama kalinya oksigen di dunia. Dibaluti jaket sahabat papa untuk membuatku tetap hangat di udara terbuka malam itu akhirnya ambulance balik kanan menyusuri jalan kembali ke kota kami Payakumbuh tercinta. Mama dan papa menghadiahiku nama Dina Rahmi dengan harapan aku jadi orang yang taat beragama dan penuh kasih sayang. Aku tumbuh jadi anak yang baik hati (ciee), senang membantu dan meringankan beban orang lain. Bagaimana tidak saat kelas satu SD aku sudah membawa jualan tanteku (adik mama) ke sekolah untuk ku jual. Tanteku baru tamat kuliah di jurusan tata boga waktu itu. Sambil menunggu panggilan mengajar beliau membuat aneka kue dan aku jadi kepala pemasarannya. Tubuh mungilku waktu itu mengangkut kue jualan dan tas yang berat berangkat ke sekolah dengan jalan kaki sejauh satu setengah kilometer. Aku senang-senang saja karena bakal dapat bagi hasil dari jualan. Waktu itu aku dan teman-teman dapat uang jajan hanaya dua kali seminggu. Jualanku laris manis, teman-temanku suka dengan kue buatan tante. Mereka berebut, sampai-sampai jam pelajaran berlangsungpun kueku dibeli teman-teman. Tentu saja itu semua kami lakukan diam-diam. ( Hehe itu kelas satu SD lho. Salam maaf dan takzim untuk bu guruku waktu itu. Alfatihah buat beliau. Semoga tenang di alam kuburnya.) Ibu-ibu yang jualan di kantin sampai cemburu denganku, karena jualan mereka jadi tidak terjual seperti biasanya dan melaporkan ke pihak sekolah agar juga meminta beo kepadaku. Masa kecil yang penuh warna membuatku tumbuh jadi pribadi yang tak menyerah dengan keadaan. Mewarisi sifat mama tapi dengan versi yang melo. Di bangku kuliahpun aku tetap melakoni jualan seperti itu, membuat kue dan menitipkannya di sekretariat Annisa. Lingkungan tempat aku tumbuh dan berkembang membentukku jadi gadis yang tidak berpangku tangan dengan keadaan. Setelah menamatkan kuliah di Fakultas Pertaanian Universitas Andalas Padang aku diminta orang tua merintis peternakan ayam petelur. Usaha yang dirintis dengan dana seadanya tapi harapan menggunung tinggi. Adik yang sedang belajar di salah satu PTN di kota Padang dan yang lainnya baru tamat SMA menuntunku untuk menekuni bisnis ini. Usaha yang tidak mudah karena pakannya harus dicari keliling kampung. Aku di temani papa menyusurikampung dan mendatangi ricemilling nya untuk mendapatkan dedak dan jagung. Kegiatanku ini memahirkan aku menyetri mobil dengan muatan jagung, dedak yang beratnya sampai lima ton. Setelah semua bahan pakan terkumpul saatnya untuk mencampurnya menjadi satu, semua dikerjakan dengan manual, karena kita belum punya biaya untuk membeli mesin pencampurnya. Semua pekerjaan itu terbayar lunas ketika masuk ke dalam kandang menemukan telur perdana nongol sebagai bakti ayam padaku ^_^. Hehe. Pekerjaan ini ku lakoni dengan senang hati, banyak pelajaran kehidupan yang kudapati saat itu. Setiap hari aku mengendarai sepeda sejauh dua kilometer ke tempat peternakan kami, guna menghemat pengeluaran aku tidak menggunakan mobil untuk kekandang pagi dan sorenya. Tapi enam bulan ada rasa jenuh dengan pekerjaan yang itu keitu saja, aku yang di kampus aktif di kegiatan kemahasiswaan merindukan kegiatan yang bervariasi. Berbekal informasi teman aku mendaftar kursus Bahasa Arab di kota Payakumbuh, belajar tiga kali seminggu dengan biaya yang cukuplah untuk kantongku waktu itu. Kegiatan ini menjadikan aku kembali bersemangat dengan pekerjaanku. Walau pelajarannya tidak aku mengerti dengan baik karena belum pernah sekalipun belajar Bahasa Arab. Mulai dari jenjang pendidikan terendah sampai pergutuan tinggi aku di sekolah umum. Alhamdulillah ada nuansa lain yang aku dapatkan sehingga selalu semangat untuk terus bekerja dan berkontribusi bagi keluarga. Ada tawaran dan penggilan menggelitik untuk melamar jadi sarjana kontrak waktu itu, membimbing proyek-proyek pemerintah untuk pelayanan masyarakat, tapi papa tak merestui. Teruslah bergerak disini dan suatu hari kamu akan mendapatkan kebahagiaan lain katanya. Beberapa bulan kursus, datang lamaran dari seseorang yang belum ku kenal sama sekali untuk diajak menikah. Kebetulan beliau mengajar di tempat kursusku, tapi kami tak pernah saling kenal dan bertemu. Entah kenapa setelah beberapa kali istikhoroh aku mengatakan ia ke papa. Papa dan mama juga setuju saja. Padahal kita semua belum saling kenal, dan aku sebelumnya juga belum ingin menikah, aku ingin punya banyak penghasilan dulu dan menghantarkan papa mama menunaikan ibadah haji. Sebulan setelah lamaran kamipun menikah. Setelah menikah kegiatan di peternakan sudah didelegasikan ke karyawan dan kepala peternakan dipegang langsung oleh mama. Setelah punya anak, kami membangun tempat belajar untuk anak-anak sekitar dengan mendirikan lembaga belajar. Alhamdulillah setelah beberapa tahun lembaga berkembang dan bertumbuh luar biasa. Sekarang kita sudah punya lembaga pendidikan mulai dari playgroup sampai sekolah Menengah. Semua berjalan mengalir saja. Sekarang aku dan suami menemani anak-anak angkatan perdana SMP di asrama. Kami ingin hidup bersama generasi milenial yang tetap fokus menghafal alquran dan belajar banyak hal lainnya. Hidup yang serasa sempurna dengan lingkungan yang mendukung untuk selalu berkontribusi positif untuk lingkungan. Menebar manfaat sebanyak-banyaknya. Dan semoga almarhum papa yang berpulang akhir bulan Juli tahun ini mendapatkan kebahagian dengan amalan-amalan yang dilakukan anak-anaknya. Alfatihah untuk papa tercinta.